Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat

Kamis, 19 Oktober 2017 - 11:03 WIB
Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
Fokus Menggenjot Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat
A A A
JAKARTA - Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia menunjukkan tren peningkatan seiring membaiknya indikator angka kemiskinan, pengangguran, kesehatan, indeks pembangunan manusia, dan sebagainya. Namun, kesejahteraan tersebut tampak belum merata.

Upaya pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menggenjot sektor infrastruktur khususnya di luar Jawa guna menghilangkan ketimpangan-ketimpangan pembangunan, nyatanya belum sepenuhnya terwujud. Selama tiga tahun pemerintahan ini berjalan, diakui sudah banyak program yang dimunculkan untuk menstimulus pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan infrastruktur, misalnya, sudah banyak difokuskan ke kawasan terluar, pinggiran, dan perdesaan. Bahkan, anggaran desa dari tahun ke tahun terus didongkrak. Pada 2015, anggaran dana desa disiapkan Rp20,5 triliun, kemudian pada 2016 melonjak drastis menjadi Rp47 triliun, dan tahun ini sudah ditingkatkan lagi menjadi Rp60 triliun. Namun, belum semua dukungan infrastruktur ataupun program yang dijalankan tersebut menjangkau kawasan pinggir an. Imbasnya, ketimpangan harga masih terjadi antara Jawa dan kawasan lainnya seperti Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur.

Komitmen pemerataan juga telah menjadi tekad kuat Presiden Jokowi. Presiden intensif mengecek proyek-proyek infrastruktur untuk memotong ketimpangan itu. Tak hanya itu, setiap ke daerah Jokowi selalu berupaya meningkatkan kualitas kehidupan warga seperti dengan membagi kartu Indonesia Sehat atau Kartu Indonesia Pintar. Dengan tercapainya pemerataan, menurut Jokowi, maka akan tercapai pula tingkat kesejahteraan.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro menilai terdapat beberapa pencapaian positif dari pemerintahan Jokowi-JK. Tidak hanya berwacana, filosofi pemerintah di bawah Presiden Jokowi memiliki semangat untuk doing something atau implementatif.
Dari sisi makro, Ari menilai pemerintah mampu mempertahankan stabilitas makroekonomi. Prestasi lainnya adalah keberhasilan Indonesia mendapat peringkat investment grade.

"Tidak mudah untuk mendapatkan itu. Stabilitas makro harus terjaga, defisit APBN terkendali, dan ada kemudahan pengurusan perizinan usaha bagi para calon investor,” ujarnya.

Terkait pemerataan kesejahteraan dan upaya mengurangi ketimpangan antara desa dan kota, Ari mengapresiasi program dana desa yang bisa memberi efek berganda dan mendorong perekonomian di perdesaan. Dengan catatan, dana desa harus diinvestasikan ke hal-hal produktif seperti pembangunan jalan dan irigasi.

Untuk mempersempit kesenjangan atau rasio gini Indonesia, pemerintah bisa memberikan stimulus atau fasilitasi. Misalnya untuk mendorong sektor usaha informal seperti pedagang makanan kaki lima agar usahanya bisa naik kelas, pemerintah daerah bisa memfasilitasi pembuatan food court dengan biaya sewa yang sangat terjangkau.

"Di Indonesia, ini juga terdapat perbedaan rasio gini antardaerah. Contohnya di Indonesia (bagian) timur, perekonomian di Sulawesi tumbuhnya luar biasa, tapi daerah Indonesia (bagian) timur lainnya banyak yang ketinggalan,” katanya.

Untuk mendorong pemerataan, daerah Indonesia bagian timur yang lain harus diberbayakan. Tol laut harus ada konsentrasi, dibuat jangkar, misalnya di Sorong. Harus ada pemusatan kegiatan perekonomian, semacam hub, sehingga bisa menstimulasi pertumbuhan.

Pakar ekonomi Firmanzah menilai kinerja ekonomi selama tiga tahun Jokowi-JK sudah cukup baik dan terkendali. Menurut Rektor Universitas Paramadina yang akrab disapa Fiz tersebut, negara berbasis komoditas serupa Indonesia seperti Brasil dan Rusia malah tumbuh negatif, serta Venezuela mesti menghadapi konflik politik dan sosial. "Sedangkan ekonomi Indonesia tetap terjaga," ujarnya.

Juru Bicara Presiden Johan Budi SP mengakui pemerataan ekonomi berkeadilan menjadi fokus pemerintahan Jokowi-JK di sisa jabatan dua tahun menda tang. Menurutnya, modal fondasi ekonomi yang dilakukan Presiden Jokowi sudah terlihat dengan pembangunan yang bukan saja terfokus di pusat, melainkan juga di daerah. "Rasio gini meskipun turun, tapi masih jadi konsen oleh Pak Presiden, Pak Jokowi-JK," katanya.

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengutarakan, ekonomi Indonesia terus menun jukkan perbaikan yang menggembirakan, terlihat dari inflasi yang terjaga di bawah 4% dalam tiga tahun terakhir. Dari sisi inflasi, Darmin menekankan pemerintah berhasil mengelola dengan baik. Sejak ekonomi nasional sebelum krisis 1998, inflasi nasional selalu double digit. "Namun setelah krisis ekonomi, inflasi pelan-pelan menurun. Tiga tahun terakhir selalu di bawah angka 4%. Ini prestasi yang membanggakan,” jelasnya.

Guna menggenjot pemerataan pula, seluruh pekerjaan dari dana desa dilarang keras dilakukan pihak ketiga, namun diswakelolakan atau dijalankan sendiri dengan penyerapan tenaga kerja yang maksimal.

Desain dana desa pada 2018, seperti diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai meng hadiri rapat terbatas me - nge nai optimalisasi dana desa di Istana Bogor Rabu (18/10/2017) adalah berfokus pada pembangunan prasarana desa, masyarakat desa, dan membangun institusi atau organisasi di desa.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani optimistis kartu-kartu kesejahteraan seperti Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sejahtera akan semakin tepat sasaran dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Hingga tahun ke tiga pemerintahan Jokowi- JK, Puan mengakui distribusi kartu-kartu itu belum sepenuhnya tersebar dengan baik.

Dukungan muncul juga dari kementerian lain seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menteri ESDM Ignasius Jonan menyampaikan bahwa 50% anggaran Kementerian ESDM digunakan langsung untuk program kesejahteraan rakyat. Jonan menyatakan, dari pagu anggaran Kementerian ESDM yang Rp6,5 triliun, lebih dari 50% akan dialokasikan untuk program-program yang langsung bersentuhan dengan kepentingan rakyat.

"Ini pertama kali Kementerian ESDM mengalokasikan anggaran lebih dari 50% untuk belanja modal, untuk kesejahteraan masyarakat langsung, misal untuk sumur bor, converter kit, jaringan gas kota," jelasnya.

Masih Ada Ketimpangan
Belum meratanya kesejahteraan juga disoroti Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal. Menurut dia, tingkat kesejahteraan masyarakat selama tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK masih ada perbedaan antara golongan menengah ke bawah dan golongan atas. Masyarakat menengah ke bawah khususnya yang 40% paling miskin, daya belinya semakin lama semakin melemah.
Sementara untuk masyarakat menengah ke atas terutama yang 20% paling atas, semakin lama semakin sejahtera.

Ini dikuatkan dengan beberapa indikator seperti untuk menengah ke bawah upah buruh bangunan, upah buruh tani, itu upah riilnya makin lama semakin turun. Nilai tukar petani juga semakin lama cenderung mengalami penurunan. Program dana desa untuk mengurangi ketimpangan masih banyak kelemahan terutama dalam pendistribusiannya. Menurut Faisal, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat selain mengandalkan bansos, juga melalui penyediaan lapangan pekerjaan untuk meningkatkan pendapatan kelas menengah ke bawah.

Indra Perwira, pengamat kebi jakan negara dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, menilai selama tiga tahun ini Jokowi telah bekerja sesuai dengan tugasnya sebagai presiden. Seperti biasanya, Jokowi melanjutkan program-program yang telah ada sebelumnya. Namun, dia menyoroti kebijakan-kebijakan itu justru lebih tidak stabil dibandingkan masa sebelumnya. Seperti masalah angkutan online, seharusnya pemerintah menyiapkan regulasinya dengan segera.

Untuk memperbaiki semua itu, Jokowi masih memiliki waktu dua tahun ke depan dengan melakukan reshuffle kabinet. Pasalnya, keresahan yang timbul selama tiga tahun terakhir ini mungkin bukan karena Jokowi, melainkan bisa saja disebabkan oleh para pembantunya yang kurang kompeten.

Hal serupa disampaikan Asep Sunaryana, pengamat administrasi publik dan pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unpad Bandung.
Dia mengatakan, berdasarkan pengamatannya, Jokowi belum bisa mengharmoniskan sejumlah pembantunya (menteri dan kepala departemen) sehingga masing-masing menteri seperti berjalan sendiri. Dampaknya, terjadi banyak benturan antarmenteri. Kondisi ini terjadi karena sejumlah menteri yang dipilih berasal dari parpol pendukung saat Pilpres 2014 lalu.

Nilai plus Jokowi selama memimpin Indonesia adalah mampu mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Akan lebih baik lagi jika kemampuan mengakomodasi itu diarahkan untuk mewujudkan visi-misinya. "Program membangun dari pinggiran dengan penggelontoran dana desa, ini juga cukup bagus. Papua juga mulai teperhatikan. Namun, tugas selanjutnya adalah Jokowi harus mampu menggiring pembangunan dari pinggiran itu untuk ke sejahteraan masyarakat,” tandas Asep.
(amm)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4413 seconds (0.1#10.140)